-->

Notification

×

Kategori Berita

CARI BERITA

Iklan

Iklan


Iklan





Legenda Asal Mula Nama Pujud (Cerita Pusaka Rokan Hilir)

| Monday, November 29, 2021 WIB | Last Updated 2022-12-03T09:03:15Z
Foto keindahan Danau Napangga, Desa Tanjung Medan, Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir


MARWAH RIAU - Kampung Pujud berasal dari suatu kampung kecil tempat orang berladang dan berkebun di pinggir Sungai Batang Kumu anak Sungai Rokan Kampung kecil tersebut bernama Banja Sriaman.


Sungai Batang Kumu merupakan urat nadi yang sangat penting bagi masyarakat yang bermastautin (bertempat tinggal) di pinggir-pinggir sungai yang bermuara ke Sungai Rokan sampai ke Bagan siapiapi. 


Sungai tersebut berguna untuk berhubungan ke wilayah luar seperti dalam melakukan perdagangan berjual beli hasil-hasil perkebunan- dan bertukar informasi. Jika tidak berlebihan sungai ini dapatlah dikatakan sebagai jalan raya untuk orang berlalu-lalang menjual hasil kebun sampai ke Selat Malaka.


Di sebelah kanan Sungai Rokan terdapat cabang sungai bernama Batang Kumu, terdapat sebuah banjayang bernama Banja Stiaman.Menurut cerita orang tua-tua di kampung ini, bahwa 'banja yakni ladang tempat orang bercocok tanam, sri berarti padi, dan aman memiliki makna darat dan tenteram. 


Maka dapat diartikan dari kata Banja diaman adalah, ladang yang sangat cocok untuk padi, yang tempatnya aman atau damai.


Dulunya Banja Sriaman di diami oleh masyarakat suku Bonai. Suku ini merupakan suku yang memiliki kebiasaan membuka ladang berpindah-pindah. Sifat orang Bonai dulunya agak kurang bergaul dengan masyarakat di luarnya. Itulah sebabnya orang Bonai tidak mau menetap dan sering mengasingkan diri. 


Alkisah, tahun 1912 ada tiga orang dari Air Hitam suatu kampung kecil di pinggir Sungai Batang Kumu wilayah Ulak Kumahang. Ketiga orang tersebut masing-masing bernama Haji Daroni, Tajudin, dan Kh. Yakub. 


Ketiga orang ini bermufakat untuk mencari tempat yang subur untuk berladang Keberangkatan mereka mendapat restu dari keluarganya masing-masing. Mereka hanya menggunakan perahu kecil untuk mengarungi Sungai Batang Kumu, dengan pengharapan akan menemukan tanah yang cocok yang diinginkannya.


Mereka pernah mendengar cerita bahwa ada daerah bekas orang Bonai berkebun atau berladang yang sudah lama ditinggalkan, tempat yang dimaksud itu tidak lain adalah Banja Sriaman.


Dengan menggunakan sampan mulailah mendayung dengan arah haluan sampan ke Banja Sriaman, dengan satu tekat untuk mencari tempat yang cocok untuk didiami dan sekaligus untuk bercocok tanam atau berladang. 


Di dalam perjalanan di Sungai Batang Kumu, tepatnya di daerah Plosong yaitu tempat orang menjala ikan, bertemulah mereka dengan orang Bonai yang sedang mungayo Salah seorang orang Bonai menyapa salah seorang dari tiga orang tersebut.


"Hendak ke mana Ji?" sapa orang Bonai. "Hendak ke Sana" jawab Haji Daroni. 

Apa tujuan hendak ke sana?" tanya orang yang munggayo lagi.

Lalu Haji Daroni menjawab, " hendak mecari tanah datar untuk tempat tinggal dan tempat berladang.


Orang yang mungayo mengatakan, "Oh, hendak mencari tempat berladang? Di sana nanti, ada rumpun pauh godang, di bawah rumpun itu ada bedeng bubujuik-bujuik, di situ tanahnya elok tempat berladang,"


Usai pertemuan dengan orang Bonai yang sedang mungayo, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat di mana terdapat bedeng kecil yang bubujuik-bujuk.


Tidak lama kemudian sampailah Haji Daroni, Tajudin, Kh Yakub di deaerah yang tanahnya sangat subur dan sangat cocok untuk bercocok tanam. Melihat kondisinya seperti itu, mereka tidak lengah lagi, lalu mendirikan tenda untuk tempat tinggal sementara.


Beberapa bulan lamanya mereka menetap, ketiga orang tersebut kembali ke Ulak Kumahang yang disebut juga dengan nama Air Hitam. 


Mereka menyampaikan berita bahwa selama ini mereka telah menemukan tempat yang cocok untuk berladang yang bisa ditanami padi, dan juga palawija. 


Dari kabar gembira itulah, ketiga orang ini ingin mengajak keluarganya pindah dan menetap di tempat yang baru tersebut. Atas kesepakatan bersama, semua keluarga pindahlah ke kampung Banja Sriaman.


Bersama keluarga mereka berangsur-angsur membuka hutan untuk dijadikan ladang. Hutan yang dibuka itu cukup luas. Dalam pembukaan hutan ini mereka dibantu orang Bonai dengan imbalan upah berbentuk tembakau dan ontom. 


Ladang yang sudah dibuka, ditanami dengan padi dan tanaman palawija, dan di sisip dengan pohon para. Menjelang tanaman para mendapatkan hasil, mereka hidup dengan memanfaatkan tanaman padi, palawija seperti kacang-kacangan, jagung, tebu dan nenas. Hasil ladang dijual kepada pedagang yang datang dari Tanah Putih.


Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Tanaman para sudah dapat dideres atau disadap. Dari tahun ke tahun hasilnya semakin meningkat. Melihat hasil seperti ini, dusun Banja Shiaman semakin terkenal namanya dan menjadi perhatian pedangang yang berada di Sungai Rokan.


Haji Daroni, Tajudin, Kh Ayub mengajak seluruh keluarga dan kerabat dekatnya untuk berpindah dari Air Hitam ke Banja Sriaman. Kemudian Banja Sriaman berkembang dan bertambah ramai penduduknya.


Lama kelamaan Sungai Botang Kumu dan Sungai Rokan sepanjang Bania Sriaman menjadi pusat berlabuhnya kapal dan sampan para pedagang dalam memperjual belikan hasil perkebunan dan bahan makanan yang berasal dari daerah lain.


Melihat jumlah penduduk cukup ramai, maka bersepakatlah masyarakat kampung untuk menunjuk salah satu dari tiga orang yang pertama membuka kampung ini untuk dijadikan sebagai pemimpin. Hasil musyawarah menunjuk dan menetapkan Tajudin sebagai penghulu Banja Sriaman.


Karena daerah yang subur, maka semua hasil pertanian dan perkebunan di wilayah ini hasilnya pun sangat memuaskan. Semua orang yang mendengar kabar tentang Banja Sriaman, berkeingianan untuk membeli hasil buminya khususnya getah hasil kebun para.


Sambil menukarkan atau menjual kebutuhan pokok masyarakat setempat maka dari keramaian orang berjualan tersebut, maka terjadilah sebuah pasar, yang dinamakan Pasar Trip. Hari pasararan Pasar Trip ini hanya sekali dalam lima belas hari.


Beberapa tahun kemudian, atas dasar musyawarah bersama, nama kepenghuluan Banja Sriaman diubah menjadi kepenghuluan Pujuik. 


Dasar pergantian nama Banja Sriaman menjadi Pujuik, terkait dengan ingatan ketiga tokoh pendiri kampung ini akan kisah sewaktu pertama kali membuka kampung tersebut. 


Saat ketiganya mencari tempat berladang, waktu itu berjumpa dengan orang Bonai yang sedang mungayo, yang langsung menunjukkan suatu tempat yang ada rumpun pauh besar yang di bawah rumpun itu ada bedeng bubujuik-bujuik. Kata bubujúik-bujuik inilah yang dijadikan dasar untuk penamaan kepenghuluan Pujuik.


Kata Pujuik ini diambil dari istilah bahasa tempatan dari kata bubujuik yang artinya berkelompok-kelompok tidak beraturan. Seiring perjalanan waktu dan zaman maka mengikut tata pemerintah bahwa kepenghuluan Pujuik diubah menjadi desa. Maka seiring dengan pergantian maka nama Pujuik entah beralasan apa berubah pula menjadi Pujud.


Sumber: lamriau.id