MARWAH RIAU - Alkisah ada sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si Lancang dengan ibunya. Mereka hidup dengan sangat miskin. Mereka berdua bekerja sebagai buruh tani.
Oleh karena itu, untuk memperbaiki hidupnya maka si Lancang berniat merantau. Pada suatu hari, ia meminta izin pada ibu dan guru ngajinya. Ibunya pun berpesan agar si Lancang selalu ingat pada ibu dan kampung halamannya. Ibunya juga berpesan agar si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji pada ibunya tersebut. Ibunya terharu saat si Lancang menyembah lututnya untuk meminta berkah. Ibunya membekali sebungkus lumping dodak, kue kegemaran si Lancang.
Setelah bertahun-tahun merantau, ternyata si Lancang sangat beruntung. la menjadi saudagar yang kaya raya. la memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikabarkan ia pun memiliki tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar yang kaya. Namun, ibunya masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, si Lancang berlayar ke Andalas. Dalam pelayaran itu ia membawa ketujuh istrinya. Bersama mereka dibawa pula perbekalan mewah dan alat-alat hiburan berupa musik. Ketika merapat di Kampar, alat-alat musik itu dibunyikan dengan riuh rendah. Sementara itu. kain sutra, aneka hiasan emas, dan perak digelar. Semuanya itu disiapkan untuk menambah kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang.
Berita kedatangan si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan perasaan terharu, ia bergegas untuk menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut. Namun, karena kemiskinannya, ia hanya mengenakan kain selendang tua, sarung usang, dan kebaya penuh tambalan. Ia memberanikan diri naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibunya si Lancang, tidak ada seorang kelasi (awak kapal) pun yang mempercayainya. Ia mengusir ibu tua tersebut dengan kasarnya. Akan tetapi, perempuan itu tidak mau beranjak. la bersikeras minta untuk dipertemukan dengan anaknya si Lancang. Situasi itu menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, si Lancang dengan diiringi oleh ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa perempuan compang-camping yang diusir itu adalah ibunya. Ibu si Lancangpun berkata, "Engkau Lancang... anakku! Oh... betapa rindunya hati emak padamu. Mendengar sapaan itu. dengan congkaknya Lancang menepis.
Anak durhaka ini pun berteriak, "Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini." Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainyadi rumah, ia mengambil pusaka miliknya.
Pusaka itu berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Sambil berdoa, lesung itu diputar-putarnya dan dikibas kibaskannya nyiru pusakanya. Ia pun berkata, "Ya Tuhanku... hukumlah anak durhaka itu."
Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut berhembus sangat dahsyatnya sehingga dalam sekejap menghancurkan kapal-kapal dagang milik si Lancang. Bukan hanya kapal itu yang hancur berkeping-keping, harta benda miliknya juga terbang ke mana mana. Kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri.
Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah. Tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang.
Sumber: Cerita Rakyat: Lampung, Sumatera Barat, Riau yang diceritakan kembali oleh Putri K.