Photo : Istimewa |
Kampar - Founder sekaligus Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menyatakan penggunaan bilangan desimal dalam penyusunan angka hasil survei lazim digunakan.
Bahkan, penggunaan bilangan desimal juga kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam menyatakan persentase penjualan minuman dari total penjualan. Ada juga pertumbuhan penduduk, persen pajak, dan lainnya.
Pada temuan survei di Provinsi Maluku Utara, terutama terkait perolehan elektabilitas pasangan calon, Burhanuddin menjelaskan, berlaku bilangan desimal.
“Jika persentase suara paslon disederhanakan menjadi 1 digit di belakang koma, maka penjumlahannya tidak tepat 100 persen, melainkan 100,1 persen,” kata Burhanuddin dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/11).
Hal serupa juga berlaku jika persentase suara pasangan calon berupa bilangan desimal dengan tiga digit di belakang koma. Maka, Burhanuddin menjelaskan, penjumlahannya menjadi 99,999 persen.
Akan tetapi, jika bilangan desimal disajikan dalam bentuk bilangan desimal 2 dan 0 digit di belakang koma, maka penjumlahannya tepat 100 persen. “Sehingga efek seperti ini menjadi lumrah terjadi akibat pembulatan bilangan desimal,” jelas Burhanuddin.
Pernyataan Burhanuddin sekaligus mengklarifikasi hasil survei terkait peta elektabilitas Pilgub Maluku Utara dalam simulasi empat pasangan calon. Hasilnya, pasangan Sherly Laos-Sarbin Sehe mendapatkan 40,7 persen.
Disusul Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan 20,7 persen, Muhammad Kasuba-Basri Salama 15,5 persen, dan Aliong Mus-Sahril Thahir 10,4 persen. Adapun massa mengambang mencapai 12,8 persen.
Persoalannya, ketika jumlah elektabilitas ditambahkan dengan massa mengambang, totalnya menjadi 100,1 persen. Tidak bulat 100 persen. Menurut Burhanuddin, penjumlahan menjadi 100,1 persen merupakan suara yang disederhanakan, efek penerapan bilangan desimal.
Seperti diketahui, bilangan desimal umumnya terdiri dari banyak angka di belakang koma, bahkan tak terhingga, sehingga lumrah dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana untuk kemudahan dalam membacanya, yaitu mengurangi jumlah digit di belakang koma hingga 3, 2, 1 atau 0 angka di belakang koma.
Aturan penyederhanaan bentuk bilangan desimal juga sudah berlaku secara umum, di mana jika angka terakhir lebih besar dari 5, maka pembulatan dilakukan ke atas pada angka di depannya. Misalnya bilangan 20,678 persen disederhanakan menjadi 2 digit dibelakang koma menjadi 20,68 persen.
“Jika kita sederhanakan kembali menjadi hanya 1 digit, maka menjadi 20,7 persen dan jika disederhanakan lagi maka menjadi 21 persen,” kata Burhanuddin.
Sementara jika angka terakhir 5 atau lebih rendah, maka pembulatan dilakukan ke bawah, misalnya bilangan 20,254 persen disederhanakan menjadi 20,25 persen.
Angka tersebut bisa disederhanakan lagi menjadi 20,2 persen, atau 20 persen.
Penjumlahan segugus bilangan desimal dari suatu persentase, kadang tidak menghasilkan angka yang tepat 100 persen. Ini akibat dari penyederhanaan setiap proporsi menjadi bentuk desimal yang lebih sedikit jumlah digit di belakang koma.
Sekjen Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI) Djayadi Hanan mengatakan, apa yang terjadi dengan hasil survei Indikator di Maluku Utara merupakan hal yang kerap dialami lembaga survei.
Menurut Djayadi, hal tersebut bukan karena lembaga survei salah menghitung, tapi efek pembulatan. “Bukan karena lembaga survei salah menghitung, tetapi karena efek pembulatan yang terjadi. Suatu bilangan dapat dibulatkan ke atas atau ke bawah dengan pembulatan bilangan. Ini karena komputer tidak dapat secara akurat menggambarkan beberapa angka,” kata Djayadi.
Djayadi melanjutkan, “Secara khusus komputer hanya dapat menggambarkan angka bulat dalam batas tertentu, tergantung pada ukuran kata yang digunakan untuk menggambarkan angka bulat. Jadi soal 100,1 persen itu tidak perlu diributkan karena yang ribut malah ketahuan tidak memahami matematika.”(rls)